NAMA & GELAR ALLAH
ALLAH YANG MENGKONTEKSTUALISASIKAN DIRI-NYA
Seperti yang sudah kita
ketahui, baik secara ilmu teologi atau pengalaman pribadi tentang Allah yang
selalu berusaha untuk menjalin hubungan dengan manusia (langsung ataupun tidak
langsung) dan kita juga mengenal tentang transenden dan imanen. Sehingga Allah sudah
pasti menjadi Allah yang dapat dialami atau dirasakan oleh manusia dalam
kehidupannya. Salah satu contoh Allah yang mengkontekstualisasikan diri-Nya
ialah dalam penggunaan sebutan atau nama Allah. Menurut Alkitab, Allah lah yang
berkenan untuk membuat diri-Nya dikenal dan memperkenankan manusia untuk
mengenal diri-Nya, sehingga “nama Allah” dan “gelar-gelar Allah” yang diberikan
itu memberikan suatu penghormatan dan hakikat-Nya sebagai Allah.
1. Nama Allah
Ada tiga kelompok besar nama
Allah yang digunakan dalam PL, seperti: Adonai, El (dengan atributnya Elohim,
El-Shaddai, El-Olam, El-Berit), dan Yahweh/Yahweh Tsebaot.
a. Adonai
Kata ‘Adonai’ ini adalah bentuk
jamak dari kata Adon (yang artinya tuan), jadi jika digunakan kata Adonai itu
berarti “tuan-tuanku”. Mengapa harus dikatakan tuan-tuanku? Hal itu mengartikan
sesuatu yang lebih dalam ternyata. Artinya ialah bahwa Dia adalah Tuan dari
segala tuan, yaitu Tuhan. Dan arti itu semakin jelas jika kita melihatnya dalam
penyebutan “Tuhan seluruh bumi” di Mzm. 97:5. Oleh kata-kata itulah
menggambarkan Allah yang berkenan untuk dikenal dan diakui sebagai Pemilik bumi
yang patut untuk disembah. Penggunaan kata Adonai juga bertujuan supaya
menghindari penyebutan kata Yahweh oleh bangsa Israel, karena penyebutan kata
Yahweh itu tidak boleh sembarangan.
b. El/Elohim
Sama seperti Adonai ternyata El
itu berarti dewa para dewa (tuan atas segala tuan: Adonai). Sebagai dewa para
dewa (kepala Pantheon), memiliki arti sebagai ‘yang mahakuasa’, sehingga
penyebutannya oleh leluhur Abraham dan di dalam kalangan rumpun bangsa Semit
menyebutkannya dengan arti ‘yang mahakuasa’ atau ‘yang mahatinggi’. Sama
seperti Adonai, Elohim juga mempunyai arti jamak yaitu ‘Allah-Allah’. Jadi
bagaimana Allah-Allah itu menjadi Allah yang Esa? Jawabannya ialah kita harus
melihat arti kata ini tidak hanya sekedar poleistis melainkan juga
menggambarkan makna yang “lebih dari” atau “diatas segala-galanya”. Dengan
demikian maka kita dapat melihat kebesaran Allah, yaitu berupa kesediaan-Nya
untuk dikenal oleh manusia dan juga dengan resiko kesalah pahaman (akibat dari
keterbatasan manusia).
c. Yahweh
Kata Yahweh ini adalah sebuah
kata yang murni lahir dari sebutan bangsa Israel. Nama itu terbentuk dari huruf
konsonan (mati), yaitu YHWH. Kemudian berkembang dengan penambahan huruf hidup
menjadi Yahweh. Dilihat dari tetagram YHWH dibentuk dari kata ‘hayah’ yang
artinya “ada”, “hidup”, dan “menjadi ada”. Perkenalan Yahweh ini ialah saat
Musa berada di Gunung Sinai, yang diartikan secara tepat menjadi “Aku ada yang
Aku ada”. Arti itu menunjukkan eksistensi Allah Israel yang selalu ada/hadir
ditengah-tengah bangsa tersebut dan selalu menyertai mereka dalam menyelesaikan
masalah dan menyelamatkannya.
c.1 Yahweh Elohenu
Lahirnya sebutan nama Allah
dengan Eldan Elohim itu berdasarkan nama yang biasa digunakan di Kanaan.
Sehingga sangat jelas bahwa arti dari Elohenu itu sama seperti Allah Israel.
Penggunaan kata El ini juga berdampak otomatis bagi penyebutan nama Allah
(Yahweh).
c.2 Yahweh Ba’ali (Yahweh Adalah Tuanku)
Bukti dari penggunaan kata
Ba’ali ialah dalam Hosea 2:15 dengan kata “Baalku”. Lalu kita mengenal Elyon.
Di mana Elyon ini adalah gabungan antara konsep El dengan semua unsur tentang
Baal. Segala jenis gelar kehormatan Baal itu di”sterilisasi” sehingga dapat
dipakai untuk El itu sebagai El-Elyon (Yang Mahatinggi). Pada masa kenabian
Hosea, Yahweh menghadiri umat-Nya dalam bentuk kesuburan melalui hujan yang
diturunkan-Nya, dan yang menunjukkan bahwa Allah lah yang berkuasa penuh atas
hidup manusia. Gelar Yahweh ini juga memberikan karakter yang berdeda juga
(yang sesuai dengan namanya). Contohnya ialah, pertama. Perbedaan mencolok
antara Yahweh dengan Baal dalam hal kesuburan tanah dan perubahan musim. Yahweh
adalah Allah yang luar biasa, penuh kuasa. Dan Yahweh adalah Allah yang sanggup
memberikan berkat dan kutuk, hujan dan kekeringan, dan juga memberikan
kelimpahan pada umat-Nya. Yang kedua adalah, penolakan terhadap kultus Anak
Lembu Emas, salah satu contoh simbol penyamaan Yahweh dengan Baal. Ini terjadi
saat insiden dimana bangsa Israel yang sudah tidak sabar menunggu Musa yang
turun dari Gunung Sinai, dan mereka membuat Anak Lembu Emas sebagai tindakan
ingin memiliki allah yang dapat mereka lihat dan rasakan kehadirannya (secara
visual) untuk mereka sembah. Memang Anak Lembu Emas itu di buat sebagai
perwujudan dari Yahweh bagi bangsa Israel, tetapi Yahweh yang hidup itu tidak
dapat dilambangkan dengan bentuk apapun. Karena itu sangat bertentangan dengan
hakikat-Nya sebagai Allah yang MahaKuasa dan Hidup.
2. Gelar-gelar Kehormatan Allah
Ada empat gelar kehormatan
Allah, yaitu Pencipta, Penebus, Hakim, Raja, dan Sang Matahari (Sang Penerang).
Gelar-gelar yang diberikan ini mengandung iman Israel kepada Allahnya.
a. Sang Pencipta
Pengakuan Yahweh sebagai Sang
Pencipta ini merupakan sebuah pengakuan yang kontekstual, acuannya ialah dalam
Kejadian 1:1-2:4a (ditulis ketika bangsa Yehuda berada dalam pemubuangan
Babel). Pada saat pembuangan, Dewa Marduk adalah yang dikenal sebagai pencipta,
tetapi jika melihat pada Kejadian 1:1-2:4a merupakan pengakuan iman Israel ada
kata Ibrani beresyit yang artinya “pada mulanya” itu
berarti bahwa Allah lah yang menciptakan dunia ini, bukan mendaur ulang dunia
ini (memperbaiki yang sudah pernah diciptakan). Dan yang acuan yang lebih lama
dalam Kejadian 2:4b-25 (lingkungan Israel sendiri).
b. Sang Penebus
Penebus itu berasal dari kata ga’al artinya “menebus”. Tindakan
menebus ini juga berarti memberikan “ganti rugi” atas milik orang lain. Jadi
jika Yahweh (Allah) diberikan gelar Sang Penebus itu berarti dalam PL ingin
menekankan bahwa Yahweh adalah Allah yang peduli terhadap umat-Nya, baik secara
kelompok ataupun individu.
c. Sang Hakim
Dengan penyebutan Yahweh adalah
Sang Hakim maka itu berarti Tuhan dijadikan landasan hukum dalam penataan hukum
Israel
d. Sang Raja
Sebenarnya dalam penggunaan
gelar Raja ini sudah masuk dalam gelar El. Pengakuan bahwa Allah adalah Sang
Raja berarti bahwa pengertian Kerajaan Allah yang berkembang di Perjanjian Baru
itu memiliki landasan yang sudah berasal dari jaman Perjanjian Lama
e. Sang Matahari
Pada dasarnya tidak mungkin
Yahweh Sang Pencipta itu disamakan dengan Matahari yang berupa hasil ciptaan.
Mungkin jika ada pun pernyataan seperti dalam Mzm 84:12 bukan berarti Yahweh
sama dengan matahari, tetapi sebagai perumpamaan saja.
3. Gambaran-gambaran Kontekstual
Hubungan Allah-Israel
Gambaran kontekstual menurut
Pdt. Sri Wismoady Wahono, Ph.D. adalah sebagai berikut: a. Hubungan antara
bapak-anak atau bapa-anak-anak (2 Sam. 7:14; 1 Taw. 17:13; Mzm. 68:9; Yes. 9:5;
63:16; Yer. 3:4), b. Hubungan pasangan pengantin yang berbulan madu atau
hubungan suami-isteri (Mat. 25:1), c. Hubungan perjanjian antara pihak yang
superior-inferior, d. Hubungan gembala-domba (Mzm. 23:1; 80:2), e. Hubungan
raja-rakyat, f. Hubungan tuan-hamba, g. Hubungan petani-kebun anggur (Yes.
5:1-7). Jika kita mengambil contoh dalam hubungan Allah antara bapa-anak, itu
berdasarkan sistem patriakhat,
di mana peran laki-laki lebih penting daripada perempuan. Yang artinya Allah
itu sebagai pelindung dan memelihara umat-Nya terutama Israel. Tetapi akan
menjadi masalah ketika masuk dalam sistem matriakhat yang kaum perempuan derajatnya lebih
tinggi dibandingkan kaum laki-laki. Sehingga akan dipertanyakan soal gender
Allah maskulin atau feminin, dan bagi mereka Allah itu feminin. Sebagian besar
orang memang menganut sistem patriakhat.
4. Ikhtisar: Tiga Tahapan dalam Proses
Kontekstualisasi Nama Allah Israel
Proses ini melalui tiga
tahapan. Yang pertama adalah proses penyamaan (analogi) Yahweh dengan gambaran
ilah yang disembah di suatu tempat. Dalam tahap ini ada kemungkinan bahwa
El-Israel dan El-Kanaan memiliki persamaan hakikat. Di mana El ini menentukan
kemuliaan-Nya melalui kualitas bau kurban, upacara agama-agama. Tahap kedua
ialah tahapan terjadinya proses seleksi yang ketat dan kritis atas gelar-gelar
dan sifat-sifat atau ungkapan-ungkapan yang diserap/diambil dari lingkungan
agama sekitar Israel yang berkaitan dengan nama Allah. Tahap ketiga ialah
Yahweh dianggap sebagai satu-satunya Allah yang sejati, yang MahaKasih, panjang
sabar, dan Mahakuasa.
Mazmur 82
Ada beberapa tahap disini. Yang
pertama, Yahweh dianggap sebagai pemimpin dari para Pantheon yang memimpin
sebuah sidang para dewa. Tahap kedua, adanya penghakiman para dewa yang telah
bertindak lalim dan kepada manusia yang fasik. Pada tahap ketiga, Allah
menjatuhkan hukuman kepada para dewa itu. Para Pantheon dibubarkan, dihukum dan
akhirnya Allah menjadi satu-satunya Allah di Israel dan seluruh bumi.
Ulangan 6:4
Ayat ini merupakan ayat
pengakuan iman Israel tentang keesaan Tuhan. Ada beberapa rumusan mengenai hal
ini. Yang pertama ialah para leluhur pada masa itu menyembah Allah mereka yang
dikenal dengan El atau Elohim. El ini merupakan Allah kepercayaan mereka yang
ternyata sama dengan apa yang keturunan mereka sembah sejak dari para leluhur
(seperti: El-Elyon, El-Olam, El-Bethel, El-Allah Israel, El-Berit, El-Shaddai).
Lalu setelah Israel memasuki tanah Kanaan, maka nama Yahweh digabungkan atau
dihubungkan dengan nama-nama tempat ibadah. Tahap yang kedua ialah pada saat
terjadinya penggabungan nama Yahweh dengan El-Israel, maka Yahweh yang disembah
itu juga disembah ditempat yang sama oleh El-Israel. Gelar-gelar ketuhanan
El-Israel pun otomatis melekat pada Yahweh. 1 Raja-Raja 18:39 menandakan hasil
perkembangan pada tahap ini. Tahap ketiga ialah timbulnya kesadaran bahwa
Yahweh adalah satu-satunya Allah (Ulangan 6:4). Ini juga mengartikan sebuah
pengakuan bahwa tidak ada kuasa lain yang lebih besar dari kuasa Allah Yahweh.
IBADAH KONTEKSTUAL DI ISRAEL
Di bab ini akan dijelaskan
tentang sejarah dari sebuah bentuk ibadah Israel yang diterangkan bahwa mirip
dengan apa yang sudah ada pada masa yang sebelumnya di mana masa sebelum
Yerusalem berkembang menjadi pusat peribadahan.
1. Gedung Ibadah
Permulaan penggunaan Gedung
ibadah ini ialah dari awalnya pemahaman tentang Allah bangsa Israel yang tidak
menetap makan dibuatlah tempat ibadah portable yang bisa dipindah-pindah. Lalu
kemudian ketika bangsa Israel sudah masuk tanah Kanaan, saat itulah Allah
bangsa Israel dikenal sebagai Allah yang ada ditengah-tengah umat-Nya. Di
bangun lah Bait Allah di Yerusalem yang sudah mengalami kehancuran sebanyak
tiga kali. Dan ada juga dibangun tempat sembahyang dan untuk belajar Taurat
yaitu Sinagoge. Lalu Daud yang mengambil alih tempat peribadahan yang ada di
Kanaan itu dan memiliki keinginan untuk membangun satu bangunan khusus untuk
menjadi pusat peribadatan. Yang kemudian keinginannya itu baru terwujud pada
saat pemerintahan anaknya, Salomo. Bait Allah yang dibangun itu arsitekturnya
sangat mirip dengan model kuil-kuil bangsa Israel. Hal itu terjadi karena
adanya campur tangan arsitek dari bangsa Fenisia. Jika diperhatikan mengenai
unsur-unsur arsitektur dari Bait Allah ini, yang pertama ialah tentang air. Di
Bait Allah itu sendiri dapat menampung 2.000 bat (bejana raksasa, yang disebut Yam = laut), 10 bat (bejana
pembasuhan), 10 bejana lebih kecil untuk membasuh hal-hal yang dipakai untuk
kurban bakaran. Bejana-bejana itu juga dipikul oleh 12 lembu tembaga yang
menggambarkan Dewa Baal yang haru mengangkat Yam itu untuk melayani Yahweh.
Lalu ada juga dibangun dua tiang tembaga yang bernama Yakin (artinya adalah Yahweh akan
menegakkan) dan dan Boas (artinya adalah dalam kekuatan
Allah). Yang jika kedua kata itu disatukan dan diartikan maka memiliki arti
yang isinya sebuah pengakuan bahwa Yahweh lah yang akan meneguhkan dengan
kekuatan-Nya. Ada beberapa penjelasan mengenai hal-hal yang berada dalam Bait
Allah. Mengenai makna teologis artisekturnya dan penggunaan unsur-unsurnya.
Pertama, penataan komplek-komplek dalam Bait Allah itu sebenarnya menggambarkan
3 tingkatan (untuk manusia dan dunia empiris, tempat untuk aktivitas para
imamat, dan tempat kehadiran para dewa). Kedua, Bait Allah ini juga berarti
tempat dimana Allah tinggal. Sama dengan raja yang tinggal di istana raja, maka
isi istana raja itu akan menggambarkan kehadiran, kekuatan, dan kekuasaan raja.
Sama dengan Bait Allah yang diisi dengan simbol-simbol yang menggambarkan bahwa
kekuasaan-kekuasaan itu tunduk dihadapan Allah. Dan yang ketiga, Bait Allah ini
juga menginformasikan bahwa Allah adalah Allah yang hadir ditengah-tengah
umat-Nya. Sehingga otomatis Bait Allah itu menjadi tempat pertemuan dan
persekutuan antara Allah dengan umat-Nya.
2. Hari-hari Raya Keagamaan
Umat Israel mengambil alih
perayaan-perayaan (Paskah, Tujuh Minggu, Pondok Daun, Peniupan Serunai,
Pendamaian, dan hari Raya Purim) yang dulunya adalah menjadi perayaan-perayaan
yang dikenal oleh masyarakat Kanaan kuno, dan diberikan makna-makna atau
pemahaman iman yang baru sehingga menjadi ibadah dan ucapan syukur kepada
Yahweh atas pemeliharaan-Nya atas bangsa Israel.
3. Ibadah Kurban
Berkenaan dengan ibadah kurban
ini, memang ada yang asli ibadah kurbannya Israel tetapi ada unsur-unsur agama
Kanaan yang masuk kedalamnya. Untuk itu ada tiga penolakan terhadap hal ini.
a. Penolakan terhadap Pengurbanan
Anak-anak
Pengurbanan anak-anak ini
sebenarnya bukanlah hal yang baru pada jaman itu, terutama pada saat Allah
memerintahkan Abraham untuk mengurbankan Ishak ke Gunung Moria (Yirel nama
kunonya, dimana di Gunung Yirel itulah memang dikenal sebagai tempat untuk mengurbankan
anak kepada Baal yang dianut oleh agama-agama Kanaan). Pada saat itu
pengurbanan Ishak dibatalkan karena Allah memberikan hewan sebagain ganti Ishak.
b. Teologi Kurban
Pada upacara kurban di Bait
Allah ini ada beberapa rumusan penting hubungannya sebagai pengiring doa yaitu,
“melunakkan wajah Tuhan”, “sebagai bau yang menyenangkan” bagi Tuhan, dan “mengadakan
perdamaian”. Sekarang kita fokus kepada bagian yang diberikan penebalan yaitu
“sebagai bau yang menyenangkan bagi Tuhan”. Ada tiga bagian dalam Alkitab yang
membahas tentang bau kurban, yaitu Kejadian 8:21 (“Tuhan mencium bau kurban”
yang dipersembahkan Nuh), Kitab Imamat (“yang baunya menyenangkan bagi Tuhan”).
Pertanyaannya apakah Allah dapat dilembutkan hati-Nya dan manusia dapat mendapatkan
pengampunan dan kasih-Nya hanya dengan bau kurban yang harum dan jumlah kurban
persembahan yang banyak? Dalam Yesaya 1:13 berisi tentang kemarahan Allah
terhadap persembahan yang tidak berkenan, yang menjijikan dihadapan Allah.
Melalui Yesaya 1:31 itu memberikan dua makna: pertama, rumusan yang seperti itu
(yang sudah ada pada masa kuno) masih dianut oleh bangsa Israel. Kedua,
kritik-kritik para nabi itu ditujukkan pada rumusan kuno tentang pemahaman yang
salah terhadap rumusan kurban tersebut.
c. Sikap Kristis Para Nabi
Kritik-kritik yang dilontarkan
oleh para nabi ini bukan disebabkan oleh adanya persaingan diantara mereka.
Melainkan karena perayaan kurban di Bait Allah sudah mulai mengarah pada
sinkretisme dan formalisme agama saja, yang itu berarti juga sudah
menghilangkan makna dan pengamplikasian dari Firman Tuhan yang benar. Seperti
Nabi Amos, Mikha, dan Yesaya yang mengkritik bahkan mengecam ibadah kurban yang
telah menghilangkan makna dan fungsi yang sesungguhnya. Yang mereka mengaggap
bahwa dengan bau kurban dan jumlah yang banyak dapat memperoleh pengampunan dan
melunakkan hati Tuhan.
Jika saya memfokuskan pada
perayaan kurbannya saja (bukan musik dan syair lagu), sebenarnya ibadah kurban
itu sama sekali tidak salah, karena memang itu lah yang Allah perintahkan dan
untuk memperoleh pengampunan dari Allah harus ada darah yang tercurah. Hanya
masalahnya itu terletak pada maknanya yang salah dalam perkembangannya. Karena
Allah tidak pernah mengukur dengan jumlah persembahannya tapi kualitas dari
kurban dan kesungguhan hati yang memberikan kurban persembahan tersebut.
Sumber: PL dan
Teologi Kontekstual
Tidak ada komentar:
Posting Komentar