Senin, 01 Juni 2015

Teologi Perjanjian Lama (Nama & Gelar Allah)

NAMA & GELAR ALLAH



ALLAH YANG MENGKONTEKSTUALISASIKAN DIRI-NYA
Seperti yang sudah kita ketahui, baik secara ilmu teologi atau pengalaman pribadi tentang Allah yang selalu berusaha untuk menjalin hubungan dengan manusia (langsung ataupun tidak langsung) dan kita juga mengenal tentang transenden dan imanen. Sehingga Allah sudah pasti menjadi Allah yang dapat dialami atau dirasakan oleh manusia dalam kehidupannya. Salah satu contoh Allah yang mengkontekstualisasikan diri-Nya ialah dalam penggunaan sebutan atau nama Allah. Menurut Alkitab, Allah lah yang berkenan untuk membuat diri-Nya dikenal dan memperkenankan manusia untuk mengenal diri-Nya, sehingga “nama Allah” dan “gelar-gelar Allah” yang diberikan itu memberikan suatu penghormatan dan hakikat-Nya sebagai Allah.

  1.     Nama Allah
Ada tiga kelompok besar nama Allah yang digunakan dalam PL, seperti: Adonai, El (dengan atributnya Elohim, El-Shaddai, El-Olam, El-Berit), dan Yahweh/Yahweh Tsebaot.
  a.    Adonai
Kata ‘Adonai’ ini adalah bentuk jamak dari kata Adon (yang artinya tuan), jadi jika digunakan kata Adonai itu berarti “tuan-tuanku”. Mengapa harus dikatakan tuan-tuanku? Hal itu mengartikan sesuatu yang lebih dalam ternyata. Artinya ialah bahwa Dia adalah Tuan dari segala tuan, yaitu Tuhan. Dan arti itu semakin jelas jika kita melihatnya dalam penyebutan “Tuhan seluruh bumi” di Mzm. 97:5. Oleh kata-kata itulah menggambarkan Allah yang berkenan untuk dikenal dan diakui sebagai Pemilik bumi yang patut untuk disembah. Penggunaan kata Adonai juga bertujuan supaya menghindari penyebutan kata Yahweh oleh bangsa Israel, karena penyebutan kata Yahweh itu tidak boleh sembarangan.
  b.    El/Elohim
Sama seperti Adonai ternyata El itu berarti dewa para dewa (tuan atas segala tuan: Adonai). Sebagai dewa para dewa (kepala Pantheon), memiliki arti sebagai ‘yang mahakuasa’, sehingga penyebutannya oleh leluhur Abraham dan di dalam kalangan rumpun bangsa Semit menyebutkannya dengan arti ‘yang mahakuasa’ atau ‘yang mahatinggi’. Sama seperti Adonai, Elohim juga mempunyai arti jamak yaitu ‘Allah-Allah’. Jadi bagaimana Allah-Allah itu menjadi Allah yang Esa? Jawabannya ialah kita harus melihat arti kata ini tidak hanya sekedar poleistis melainkan juga menggambarkan makna yang “lebih dari” atau “diatas segala-galanya”. Dengan demikian maka kita dapat melihat kebesaran Allah, yaitu berupa kesediaan-Nya untuk dikenal oleh manusia dan juga dengan resiko kesalah pahaman (akibat dari keterbatasan manusia).
  c.    Yahweh
Kata Yahweh ini adalah sebuah kata yang murni lahir dari sebutan bangsa Israel. Nama itu terbentuk dari huruf konsonan (mati), yaitu YHWH. Kemudian berkembang dengan penambahan huruf hidup menjadi Yahweh. Dilihat dari tetagram YHWH dibentuk dari kata ‘hayah’ yang artinya “ada”, “hidup”, dan “menjadi ada”. Perkenalan Yahweh ini ialah saat Musa berada di Gunung Sinai, yang diartikan secara tepat menjadi “Aku ada yang Aku ada”. Arti itu menunjukkan eksistensi Allah Israel yang selalu ada/hadir ditengah-tengah bangsa tersebut dan selalu menyertai mereka dalam menyelesaikan masalah dan menyelamatkannya.
c.1 Yahweh Elohenu
Lahirnya sebutan nama Allah dengan Eldan Elohim itu berdasarkan nama yang biasa digunakan di Kanaan. Sehingga sangat jelas bahwa arti dari Elohenu itu sama seperti Allah Israel. Penggunaan kata El ini juga berdampak otomatis bagi penyebutan nama Allah (Yahweh).
c.2 Yahweh Ba’ali (Yahweh Adalah Tuanku)
Bukti dari penggunaan kata Ba’ali ialah dalam Hosea 2:15 dengan kata “Baalku”. Lalu kita mengenal Elyon. Di mana Elyon ini adalah gabungan antara konsep El dengan semua unsur tentang Baal. Segala jenis gelar kehormatan Baal itu di”sterilisasi” sehingga dapat dipakai untuk El itu sebagai El-Elyon (Yang Mahatinggi). Pada masa kenabian Hosea, Yahweh menghadiri umat-Nya dalam bentuk kesuburan melalui hujan yang diturunkan-Nya, dan yang menunjukkan bahwa Allah lah yang berkuasa penuh atas hidup manusia. Gelar Yahweh ini juga memberikan karakter yang berdeda juga (yang sesuai dengan namanya). Contohnya ialah, pertama. Perbedaan mencolok antara Yahweh dengan Baal dalam hal kesuburan tanah dan perubahan musim. Yahweh adalah Allah yang luar biasa, penuh kuasa. Dan Yahweh adalah Allah yang sanggup memberikan berkat dan kutuk, hujan dan kekeringan, dan juga memberikan kelimpahan pada umat-Nya. Yang kedua adalah, penolakan terhadap kultus Anak Lembu Emas, salah satu contoh simbol penyamaan Yahweh dengan Baal. Ini terjadi saat insiden dimana bangsa Israel yang sudah tidak sabar menunggu Musa yang turun dari Gunung Sinai, dan mereka membuat Anak Lembu Emas sebagai tindakan ingin memiliki allah yang dapat mereka lihat dan rasakan kehadirannya (secara visual) untuk mereka sembah. Memang Anak Lembu Emas itu di buat sebagai perwujudan dari Yahweh bagi bangsa Israel, tetapi Yahweh yang hidup itu tidak dapat dilambangkan dengan bentuk apapun. Karena itu sangat bertentangan dengan hakikat-Nya sebagai Allah yang MahaKuasa dan Hidup.

 2.  Gelar-gelar Kehormatan Allah
Ada empat gelar kehormatan Allah, yaitu Pencipta, Penebus, Hakim, Raja, dan Sang Matahari (Sang Penerang). Gelar-gelar yang diberikan ini mengandung iman Israel kepada Allahnya.
 a.  Sang Pencipta
Pengakuan Yahweh sebagai Sang Pencipta ini merupakan sebuah pengakuan yang kontekstual, acuannya ialah dalam Kejadian 1:1-2:4a (ditulis ketika bangsa Yehuda berada dalam pemubuangan Babel). Pada saat pembuangan, Dewa Marduk adalah yang dikenal sebagai pencipta, tetapi jika melihat pada Kejadian 1:1-2:4a merupakan pengakuan iman Israel ada kata Ibrani beresyit yang artinya “pada mulanya” itu berarti bahwa Allah lah yang menciptakan dunia ini, bukan mendaur ulang dunia ini (memperbaiki yang sudah pernah diciptakan). Dan yang acuan yang lebih lama dalam Kejadian 2:4b-25 (lingkungan Israel sendiri).
 b.  Sang Penebus
Penebus itu berasal dari kata ga’al artinya “menebus”. Tindakan menebus ini juga berarti memberikan “ganti rugi” atas milik orang lain. Jadi jika Yahweh (Allah) diberikan gelar Sang Penebus itu berarti dalam PL ingin menekankan bahwa Yahweh adalah Allah yang peduli terhadap umat-Nya, baik secara kelompok ataupun individu.
 c.   Sang Hakim
Dengan penyebutan Yahweh adalah Sang Hakim maka itu berarti Tuhan dijadikan landasan hukum dalam penataan hukum Israel
 d.  Sang Raja
Sebenarnya dalam penggunaan gelar Raja ini sudah masuk dalam gelar El. Pengakuan bahwa Allah adalah Sang Raja berarti bahwa pengertian Kerajaan Allah yang berkembang di Perjanjian Baru itu memiliki landasan yang sudah berasal dari jaman Perjanjian Lama
 e.  Sang Matahari
Pada dasarnya tidak mungkin Yahweh Sang Pencipta itu disamakan dengan Matahari yang berupa hasil ciptaan. Mungkin jika ada pun pernyataan seperti dalam Mzm 84:12 bukan berarti Yahweh sama dengan matahari, tetapi sebagai perumpamaan saja.
 3.  Gambaran-gambaran Kontekstual Hubungan Allah-Israel
Gambaran kontekstual menurut Pdt. Sri Wismoady Wahono, Ph.D. adalah sebagai berikut: a. Hubungan antara bapak-anak atau bapa-anak-anak (2 Sam. 7:14; 1 Taw. 17:13; Mzm. 68:9; Yes. 9:5; 63:16; Yer. 3:4), b. Hubungan pasangan pengantin yang berbulan madu atau hubungan suami-isteri (Mat. 25:1), c. Hubungan perjanjian antara pihak yang superior-inferior, d. Hubungan gembala-domba (Mzm. 23:1; 80:2), e. Hubungan raja-rakyat, f. Hubungan tuan-hamba, g. Hubungan petani-kebun anggur (Yes. 5:1-7). Jika kita mengambil contoh dalam hubungan Allah antara bapa-anak, itu berdasarkan sistem patriakhat, di mana peran laki-laki lebih penting daripada perempuan. Yang artinya Allah itu sebagai pelindung dan memelihara umat-Nya terutama Israel. Tetapi akan menjadi masalah ketika masuk dalam sistem matriakhat yang kaum perempuan derajatnya lebih tinggi dibandingkan kaum laki-laki. Sehingga akan dipertanyakan soal gender Allah maskulin atau feminin, dan bagi mereka Allah itu feminin. Sebagian besar orang memang menganut sistem patriakhat.
 4.  Ikhtisar: Tiga Tahapan dalam Proses Kontekstualisasi Nama Allah Israel
Proses ini melalui tiga tahapan. Yang pertama adalah proses penyamaan (analogi) Yahweh dengan gambaran ilah yang disembah di suatu tempat. Dalam tahap ini ada kemungkinan bahwa El-Israel dan El-Kanaan memiliki persamaan hakikat. Di mana El ini menentukan kemuliaan-Nya melalui kualitas bau kurban, upacara agama-agama. Tahap kedua ialah tahapan terjadinya proses seleksi yang ketat dan kritis atas gelar-gelar dan sifat-sifat atau ungkapan-ungkapan yang diserap/diambil dari lingkungan agama sekitar Israel yang berkaitan dengan nama Allah. Tahap ketiga ialah Yahweh dianggap sebagai satu-satunya Allah yang sejati, yang MahaKasih, panjang sabar, dan Mahakuasa.
Mazmur 82
Ada beberapa tahap disini. Yang pertama, Yahweh dianggap sebagai pemimpin dari para Pantheon yang memimpin sebuah sidang para dewa. Tahap kedua, adanya penghakiman para dewa yang telah bertindak lalim dan kepada manusia yang fasik. Pada tahap ketiga, Allah menjatuhkan hukuman kepada para dewa itu. Para Pantheon dibubarkan, dihukum dan akhirnya Allah menjadi satu-satunya Allah di Israel dan seluruh bumi.
Ulangan 6:4
Ayat ini merupakan ayat pengakuan iman Israel tentang keesaan Tuhan. Ada beberapa rumusan mengenai hal ini. Yang pertama ialah para leluhur pada masa itu menyembah Allah mereka yang dikenal dengan El atau Elohim. El ini merupakan Allah kepercayaan mereka yang ternyata sama dengan apa yang keturunan mereka sembah sejak dari para leluhur (seperti: El-Elyon, El-Olam, El-Bethel, El-Allah Israel, El-Berit, El-Shaddai). Lalu setelah Israel memasuki tanah Kanaan, maka nama Yahweh digabungkan atau dihubungkan dengan nama-nama tempat ibadah. Tahap yang kedua ialah pada saat terjadinya penggabungan nama Yahweh dengan El-Israel, maka Yahweh yang disembah itu juga disembah ditempat yang sama oleh El-Israel. Gelar-gelar ketuhanan El-Israel pun otomatis melekat pada Yahweh. 1 Raja-Raja 18:39 menandakan hasil perkembangan pada tahap ini. Tahap ketiga ialah timbulnya kesadaran bahwa Yahweh adalah satu-satunya Allah (Ulangan 6:4). Ini juga mengartikan sebuah pengakuan bahwa tidak ada kuasa lain yang lebih besar dari kuasa Allah Yahweh.

IBADAH KONTEKSTUAL DI ISRAEL
Di bab ini akan dijelaskan tentang sejarah dari sebuah bentuk ibadah Israel yang diterangkan bahwa mirip dengan apa yang sudah ada pada masa yang sebelumnya di mana masa sebelum Yerusalem berkembang menjadi pusat peribadahan.
  1.     Gedung Ibadah
Permulaan penggunaan Gedung ibadah ini ialah dari awalnya pemahaman tentang Allah bangsa Israel yang tidak menetap makan dibuatlah tempat ibadah portable yang bisa dipindah-pindah. Lalu kemudian ketika bangsa Israel sudah masuk tanah Kanaan, saat itulah Allah bangsa Israel dikenal sebagai Allah yang ada ditengah-tengah umat-Nya. Di bangun lah Bait Allah di Yerusalem yang sudah mengalami kehancuran sebanyak tiga kali. Dan ada juga dibangun tempat sembahyang dan untuk belajar Taurat yaitu Sinagoge. Lalu Daud yang mengambil alih tempat peribadahan yang ada di Kanaan itu dan memiliki keinginan untuk membangun satu bangunan khusus untuk menjadi pusat peribadatan. Yang kemudian keinginannya itu baru terwujud pada saat pemerintahan anaknya, Salomo. Bait Allah yang dibangun itu arsitekturnya sangat mirip dengan model kuil-kuil bangsa Israel. Hal itu terjadi karena adanya campur tangan arsitek dari bangsa Fenisia. Jika diperhatikan mengenai unsur-unsur arsitektur dari Bait Allah ini, yang pertama ialah tentang air. Di Bait Allah itu sendiri dapat menampung 2.000 bat (bejana raksasa, yang disebut Yam = laut), 10 bat (bejana pembasuhan), 10 bejana lebih kecil untuk membasuh hal-hal yang dipakai untuk kurban bakaran. Bejana-bejana itu juga dipikul oleh 12 lembu tembaga yang menggambarkan Dewa Baal yang haru mengangkat Yam itu untuk melayani Yahweh. Lalu ada juga dibangun dua tiang tembaga yang bernama Yakin (artinya adalah Yahweh akan menegakkan) dan dan Boas (artinya adalah dalam kekuatan Allah). Yang jika kedua kata itu disatukan dan diartikan maka memiliki arti yang isinya sebuah pengakuan bahwa Yahweh lah yang akan meneguhkan dengan kekuatan-Nya. Ada beberapa penjelasan mengenai hal-hal yang berada dalam Bait Allah. Mengenai makna teologis artisekturnya dan penggunaan unsur-unsurnya. Pertama, penataan komplek-komplek dalam Bait Allah itu sebenarnya menggambarkan 3 tingkatan (untuk manusia dan dunia empiris, tempat untuk aktivitas para imamat, dan tempat kehadiran para dewa). Kedua, Bait Allah ini juga berarti tempat dimana Allah tinggal. Sama dengan raja yang tinggal di istana raja, maka isi istana raja itu akan menggambarkan kehadiran, kekuatan, dan kekuasaan raja. Sama dengan Bait Allah yang diisi dengan simbol-simbol yang menggambarkan bahwa kekuasaan-kekuasaan itu tunduk dihadapan Allah. Dan yang ketiga, Bait Allah ini juga menginformasikan bahwa Allah adalah Allah yang hadir ditengah-tengah umat-Nya. Sehingga otomatis Bait Allah itu menjadi tempat pertemuan dan persekutuan antara Allah dengan umat-Nya.
  2.    Hari-hari Raya Keagamaan
Umat Israel mengambil alih perayaan-perayaan (Paskah, Tujuh Minggu, Pondok Daun, Peniupan Serunai, Pendamaian, dan hari Raya Purim) yang dulunya adalah menjadi perayaan-perayaan yang dikenal oleh masyarakat Kanaan kuno, dan diberikan makna-makna atau pemahaman iman yang baru sehingga menjadi ibadah dan ucapan syukur kepada Yahweh atas pemeliharaan-Nya atas bangsa Israel.
  3.    Ibadah Kurban
Berkenaan dengan ibadah kurban ini, memang ada yang asli ibadah kurbannya Israel tetapi ada unsur-unsur agama Kanaan yang masuk kedalamnya. Untuk itu ada tiga penolakan terhadap hal ini.
  a.    Penolakan terhadap Pengurbanan Anak-anak
Pengurbanan anak-anak ini sebenarnya bukanlah hal yang baru pada jaman itu, terutama pada saat Allah memerintahkan Abraham untuk mengurbankan Ishak ke Gunung Moria (Yirel nama kunonya, dimana di Gunung Yirel itulah memang dikenal sebagai tempat untuk mengurbankan anak kepada Baal yang dianut oleh agama-agama Kanaan). Pada saat itu pengurbanan Ishak dibatalkan karena Allah memberikan hewan sebagain ganti Ishak.
  b.    Teologi Kurban
Pada upacara kurban di Bait Allah ini ada beberapa rumusan penting hubungannya sebagai pengiring doa yaitu, “melunakkan wajah Tuhan”, “sebagai bau yang menyenangkan bagi Tuhan, dan “mengadakan perdamaian”. Sekarang kita fokus kepada bagian yang diberikan penebalan yaitu “sebagai bau yang menyenangkan bagi Tuhan”. Ada tiga bagian dalam Alkitab yang membahas tentang bau kurban, yaitu Kejadian 8:21 (“Tuhan mencium bau kurban” yang dipersembahkan Nuh), Kitab Imamat (“yang baunya menyenangkan bagi Tuhan”). Pertanyaannya apakah Allah dapat dilembutkan hati-Nya dan manusia dapat mendapatkan pengampunan dan kasih-Nya hanya dengan bau kurban yang harum dan jumlah kurban persembahan yang banyak? Dalam Yesaya 1:13 berisi tentang kemarahan Allah terhadap persembahan yang tidak berkenan, yang menjijikan dihadapan Allah. Melalui Yesaya 1:31 itu memberikan dua makna: pertama, rumusan yang seperti itu (yang sudah ada pada masa kuno) masih dianut oleh bangsa Israel. Kedua, kritik-kritik para nabi itu ditujukkan pada rumusan kuno tentang pemahaman yang salah terhadap rumusan kurban tersebut.
  c.    Sikap Kristis Para Nabi
Kritik-kritik yang dilontarkan oleh para nabi ini bukan disebabkan oleh adanya persaingan diantara mereka. Melainkan karena perayaan kurban di Bait Allah sudah mulai mengarah pada sinkretisme dan formalisme agama saja, yang itu berarti juga sudah menghilangkan makna dan pengamplikasian dari Firman Tuhan yang benar. Seperti Nabi Amos, Mikha, dan Yesaya yang mengkritik bahkan mengecam ibadah kurban yang telah menghilangkan makna dan fungsi yang sesungguhnya. Yang mereka mengaggap bahwa dengan bau kurban dan jumlah yang banyak dapat memperoleh pengampunan dan melunakkan hati Tuhan.
Jika saya memfokuskan pada perayaan kurbannya saja (bukan musik dan syair lagu), sebenarnya ibadah kurban itu sama sekali tidak salah, karena memang itu lah yang Allah perintahkan dan untuk memperoleh pengampunan dari Allah harus ada darah yang tercurah. Hanya masalahnya itu terletak pada maknanya yang salah dalam perkembangannya. Karena Allah tidak pernah mengukur dengan jumlah persembahannya tapi kualitas dari kurban dan kesungguhan hati yang memberikan kurban persembahan tersebut.



Sumber: PL dan Teologi Kontekstual

Tidak ada komentar:

Posting Komentar